Pendahuluan
Sejak Woodrow Wilson “menggegerkan” publik Amerika Serikat melalui
tulisannya yang berjudul The Study of
Administration (1887) pada jurnal Political
Science Quarterly, administrasi negara
mulai berkembang sampai ke antero dunia, termasuk ke Indonesia. Sejak
dekade 1990an, administrasi negara telah berkembang pesat dibandingkan zamannya
Wilson. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu administrasi negara
begitu masif terjadi di negara
asalnya Amerika Serikat dan negara-negara Anglo-Saxon lainnya seperti Inggris,
Kanada, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan di negara-negara berkembang,
dinamika administrasi negara tidak begitu intens
karena masih kuatnya kontrol politik, birokrasi dan budaya.
Secara teori, konsep dan paradigma, administrasi negara mengalami
perkembangan yang cukup cepat. Banyak bermunculan teori-teori kontemporer di
dalam khasanah administrasi negara yang mengkritik dan memperkaya teori-teori
klasik seperti teori tentang organisasi dan birokrasi. Perkembangan itu adalah
sesuatu yang wajar mengingat administrasi negara merupakan bagian dari ilmu
sosial yang memiliki karakteristik yang dinamis, tidak seperti halnya ilmu-ilmu
alam yang cenderung pasif dan positivistik. Perkembangan ini patut diapresiasi
karena hal ini menandakan administrasi negara mampu eksis di tengah
persoalan-persoalan masyarakat yang semakin kompleks dan butuh solusi yang
konkrit.
Perkembangan teori, konsep dan paradigma di dalam administrasi juga begitu
beragam (distinct) dan unik. Setiap
cerdik-cendikia administrasi negara memiliki teori dan konsep administrasi
negara dengan argumentasi dan penafsiran yang berbeda satu sama lain, sehingga
dinamika pemikiran administrasi negara begitu terasa gezah-nya. Di samping itu, kondisi dunia yang sudah semakin
menglobal dimana semakin tidak jelasnya batas-batas geografis negara berkat
revolusi teknologi informasi, ikut mempengaruhi perkembangan teori, konsep dan
paradigma administrasi negara. Sedikit-banyaknya teori, konsep dan paradigma
administrasi negara telah terkooptasi dengan ideologi globalisasi yang
menginginkan setiap negara, menjadi satu kesatuan teritorial secara non-fisik.
Artinya, tidak ada lagi sekat-sekat atau batas negara yang terlalu jauh untuk
dijangkau karena semuanya dapat dijelajahi dalam waktu singkat dengan
memanfaatkan media teknologi informasi.
Dinamika ini membawa pengaruh besar dalam keilmuwan administrasi negara di
berbagai belahan dunia. Tidak saja di negara asalnya dan di negara maju
lainnya, di negara-negara sedang berkembang, terutama Indonesia wacana
keilmuwan administrasi negara berkembang dengan cepat dan begitu dinamis.
Secara konseptual telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam teori
dan paradigma administrasi negara di Indonesia. Perkembangan ini tentu saja
dipelopori oleh kalangan akademisi kampus yang menggeluti administrasi negara
maupun masyarakat luas yang memiliki concern
terhadap administrasi negara. Fakta ini bisa dilacak dari dinamika keilmuwan
yang berkembang di berbagai perguruan tinggi negeri, swasta dan perguruan
tinggi kedinasan yang menyelenggarakan program administrasi negara.
Setiap tempat yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara memiliki
horison tersendiri dan berbeda satu sama lain. Dinamika ini lebih disebabkan
karena interpretasi yang berbeda tentang teori, konsep dan paradigma
administrasi negara yang berkembang dalam keilmuwan administrasi negara.
Tidak bisa dinafikan bahwa teori, konsep dan paradigma administrasi negara
yang berkembang di Indonesia diimpor dari luar. Teori tentang kebijakan publik,
teori manajemen publik dan teori governance
adalah teori yang lahir di Barat, yang kemudian diadopsi oleh kalangan
akademisi dan praktisi administrasi negara di Indonesia. Sampai saat ini, penulis
belum menemukan satu pun tulisan atau pun buku tentang teori administrasi
negara yang ”asli” Indonesia. Kebanyakan, buku-buku tentang teori administrasi
negara yang ditulis oleh orang Indonesia dan beredar di Indonesia merupakan
buku-buku yang mencuplik teori-teori administrasi negara dari luar dengan
sedikit modifikasi (threatment) dan
tambahan di sana-sini dengan kasus Indonesia.
Fenomena ini jika dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan hilangnya kemandirian dan identitas administrasi negara
Indonesia.
Keilmuwan administrasi negara di Indonesia berlangsung dalam kondisi yang
dinamis sudah terasa sejak terjadinya reformasi politik di Indonesia yang
ditandai dengan lengsernya Orde Baru tahun 1998 hingga saat ini., dialektika
keilmuwan administrasi terjadi begitu hangat. Masing-masing
jurusan/departemen/program studi yang menawarkan pendidikan administrasi negara
di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia memiliki cakrawala keilmuwan
yang berbeda satu sama lain. Labih jauh, hal ini menimbulkan perspentif yang
berbeda dalam memandang dan menjalankan pendidikan administrasi negara. Dalam
konteks kekinian, perkembangan dan dinamika yang sangat menarik untuk disoroti
adalah dialektika dan perdebatan tentang administrasi ”negara” dan administrasi
”publik”. Sekilas, persoalan ini terkesan sederhana karena hanya menyangkut
masalah nama (label). Namun, lebih
dari itu, perkembangan dan dinamika ini memiliki akar filosofis dan historis
yang panjang serta layak untuk dianalisis karena berkaitan dengan identitas
administrasi negara Indonesia itu sendiri.
Tulisan ini pada intinya akan menyoroti perkembangan dan dinamika administrasi
negara di Indonesia, termasuk wacana keilmuwannya-dalam hal ini dimotori oleh
dunia kampus- yang dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi di
Indonesia, pemikirannya dan utamanya pada pergulatan wacana administrasi
”negara” vis a vis administrasi
publik. Sebelum masuk pada persoalan pokok, tulisan ini sedikit akan mengulas hakikat
(nature) administrasi negara,
perkembangan paradigmanya dan teorinya dalam rangka menemukan state of the art administrasi negara.
Sebagai bahan perbandingan tulisan ini juga akan melihat perkembangan keilmuwan
administrasi negara di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, Singapura
dan Malaysia sebagai upaya outward
looking dan menemukenali dinamika wacana keilmuwan administrasi negara di
negara-negara maju yang karena pengaruh globalisasi sering menjadi ”kiblat”
administrasi negara bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada
akhirnya tulisan ini akan ditutup dengan sebuah masukan bagi perkembangan ilmu
administrasi negara di Indonesia dalam rangka mencari identitas administrasi
negara ”Indonesia”.
Nature Administrasi Negara
Sebenarnya,
jauh sebelum Wilson menulis tentang The
Study of Administration, administrasi negara itu sudah ada sejak abad ke-15.
Namun, praktik administrasi Negara sudah ada sejak dikenalnya Negara Kota
di Athena jauh sebelum abad ke-15. Untuk mengurus dan melaksanakan
pemerintahan, tentu membutuhkan administrator publik yang handal, administrator
inilah yang sekarang dikenal dengan birokrasi. Perbedaannya adalah permasalahan
publik pada masa itu belum sekompleks sekarang sehingga tugas dan fungsi
administrasi negara belum terlalu menonjol.
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan terpisah dari ilmu politik,
administrasi negara baru menemukan jati dirinya sebagai sebuah ilmu pada abad
ke-19, yaitu ketika Wilson menulis The
Study of Administration. Pada zamannya Wilson administrasi dipamahi sebagai
pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintah dan mengimplementasikan kebijakan
publik. Dengan
demikian, administrasi harus dipisahkan dengan politik. Pemikiran inilah yang
mengilhami munculnya paradigma dikotomi politik-administrasi. Lebih jauh, dalam
tulisannya Wilson mengatakan bahwa,
Administration
is the most obvious part of government; it is the executive, the operative, the
most visible side of government, and is of course as old as government itself.
It is government in action, and one might very naturally expect to find that
government in action had arrested the
attention and provoked the scrutiny of writers of politics very early in the
history of systematic thought.
Dalam
pengertiannya yang klasik, administrasi negara dipahami sebagai implementasi
kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik, penggunaan kekuasaan untuk
memaksakan aturan untuk menjamin kebaikan publik dan relasi antara publik dan
birokrasi yang telah ditunjuk untuk melaksanakan kepentingan bersama.
Administrasi negara dibentuk untuk menyelenggarakan kepentingan publik dan
melayani publik. Pada prinsipnya, administrasi negara dibentuk untuk mengabdi kepada
publik dan tidak boleh memihak kepada salah satu kepentingan politik apapun,
dengan alasan apapun. Administrasi negara harus netral dan tidak partisan agar
pelayanan kepada publik dapat dilakukan dengan adil tanpa membeda-bedakan satus
sosial, jabatan dan preferensi politik seseorang.
Lalu pada titik ini muncul pertanyaan, siapa publik itu? Publik adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat luas dan kepentingan orang
banyak. Publik bisa berarti negara berserta otoritas dan alat kelengkapannya,
organisasi masyarakat sipil, organisasi privat, organisasi pendidikan, organisasi
keagamaan, bahkan organisasi terkecil seperti RT sekalipun merupakan
manifestasi dari publik. Jadi adalah keliru apabila ada pendapat yang
menyatakan bahwa publik itu hanyalah negara, di luar negara bukanlah publik. Konsep
publik itu sendiri tidak hanya menjadi monopoli negara, tetapi lebih dari itu
publik merupakan domain yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat secara
luas.
Perkembangan Paradigma dan Teori Administrasi
Negara
Paradigma merupakan cara pandang sekelompok akademisi tentang suatu
permasalahan atau fenomena sosial. Paradigma digunakan sebagai alat analisis
untuk memotret dan memecahkan masalah-masalah sosial. Paradigma mencapai
statusnya karena paradigma lebih berhasil memecahkan persoalan-persoalan yang
gawat dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya atau para kelompok praktisi. Konsep
paradigma sendiri sebenarnya berasal dari ilmu-ilmu alam yang kemudian diadopsi
oleh scientists ilmu sosial guna
memecahkan masalah-masalah sosial yang semakin rumit.
Administrasi negara juga memiliki paradigma atau cara pandang yang dapat
dibagi berdasarkan konteks waktu kemunculannya. Henry membagi
paradigma administrasi negara atas lima paradigma secara diakronis. Menurut
Henry paradigma dalam administrasi negara terdiri atas:
1. Dikotomi
politik-administrasi (1900-1926)
2. Prinsip-prinsip
administrasi (1927-1937)
3. Administrasi sebagai ilmu
politik (1950-1970)
4. Administrasi negara
sebagai manajemen (1956-1970)
5. Administrasi negara
sebagai administrasi Negara (1970-?)
Mencermati pendapat Henry dalam Public
Administration and Public Affairs, terlihat ada keterputusan ide pada
paradigma kelima karena Henry hanya menyebutkan bahwa paradigma kelima dimulai
pada tahun 1970, tetapi tidak jelas berakhir sampai kapan. Bahkan dalam revisi
yang keenam kali terhadap bukunya itu, Henry belum berani mengungkapkan apakah
paradigma administrasi negara sebagai administrasi negara masih relevan sampai
saat ini. Padahal dinamika administrasi negara berlangsung sangat cepat
karena perkembangan zaman yang semakin bergejolak (turbulence). Pertanyaan yang harus kita ajukan
adalah, apakah administrasi negara masih berada pada paradigma kelima? Apakah
paradigma kelima masih relevan atau tidak untuk situasi saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan Denhardt dan Denhardt, The New
Public Service: Serving, not Steering,
yang ditulis pada tahun 2003, dapat dijadikan sebagai rujukan. Denhardt dan Denhardt
membagi paradigma administrasi negara tersebut atas 3 paradigma yaitu, Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS). Paradigma OPA
tidak bisa dilepaskan dari paradigma-paradigma klasik dalam administrasi negara
yang dikemukakan oleh Henry, sedangkan gagasan mengenai NPM dicover dari pemikiran-pemikiran entrepreneurial governmentnya Osborne
dan Gaebler.
Paradigma yang paling mutakhir dalam administrasi negara menurut Denhardt
dan Denhardt adalah NPS. Secara umum alur pikir NPS menentang
paradigma-paradigma sebelumnya (OPA dan NPM). Dasar teoritis paradigma NPS ini
dikembangkan dari teori tentang demokrasi, dengan lebih menghargai perbedaan,
partisipasi dan hak asasi warga negara. Dalam NPS konsep kepentingan
publik merupakan hasil dialog berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat.
Nilai-nilai seperti keadilan, transparansi dan akuntabilitas merupakan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pelayanan publik. Paradigma NPS
berpandangan bahwa responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan
kepada warga negara (citizen’s) bukan
clients, konstituen (constituent) dan bukan pula pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk
memandang masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu
negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak hanya
dipandang sebagai customer yang perlu
dilayani dengan standar tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah pemilik
(owner) pemerintah yang memberikan
pelayanan tersebut.
Referensi
“Gerald
E. Caiden. 1982. Public Administration
(Second Edition). California: Pacific Palisasdes, Palisades.
Purwanto, Agus Erwan. 2005. “Pelayanan Publik Partisipatif”, mewujudkan good governance melalui pelayanan publik, Gadjah
mada university press, Yogyakarta.
Gerald E. Caiden, Public Administration (Second Edition), Pacific Palisasdes, Palisades, California.
1982. halaman 12.
Nicholas Henry, Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition), Englewood
Cliffs, New Jersey, 1995, halaman 22-24.